Senin, 03 Maret 2014

TOKOH WAYANG KULIT NAKULA

NAKULA

Nakula adalah saudara keempat dari Para Pandawa. Ia adalah putera dari Dewi Madri,yaitu kakak ipar Dewi Kunti. Nakula memiliki saudara kembar yaitu Sadewa yang merupakan saudara terakhir para Pandawa. Nakula dikisahkan sebagai putera dari Dewa Aswin,yaitu Dewa Tabib  Kembar.

Dalam kitab Mahabharata, Nakula adalah ksatria yang sangat tampan dan sangat elok parasnya. Dan Menurut Dropadi, Nakula adalah suami yang paling tampan di dunia. Namun dengan hal itu, Nakula memiliki sifat yang buruk yaitu membanggakan ketampanannya. Dan itu diungkapkan oleh kakak pertamanya, Yudistira dalam kitabPrasthanikaparwa.

Nakula dalam bahasa Sansekerta merujuk kepada warna Ichneumon, yaitu sejenis tikus atau binatang pengerat dari Mesir. Nakula juga memiliki arti “cerpelai” atau bisa diartikan “tikus benggala”. Nakula juga merupakan nama lain dari Dewa Siwa.

Dalam wiracarita Mahabharata, dikisahkan bahwa Nakula dan Sadewa memiliki kemampuan istimewa dalam merawat kuda dan sapi. Nakula adalah orang yang sangat menghibur hati,teliti dalam menjalankan tugasnya, dan dia memiliki kemahiran dalam memainkan senjata pedang.

Dalam Pewayangan Jawa, Nakula yang disebut juga denga Pinten (nama tumbuh-tumbuhan yang daunnya dapat dipergunakan sebagai obat), dia pandai menunggang kuda dan memainkan senjata panah dan lembing. Ia juga tidak akan  pernah lupa dengan segala hal yang diketahuinya, karena ia memiliki Aji Pranawajati, pemberian Ditya Sapujagad, yaitu Senapati Negara Mretani. Nakula juga memiliki cupu yang berisi “banyu Pangarupan” atau “air kehidupan” pemberian Bathara Indra. Nakula memiliki watak jujur, setia, taat, belas kasih, tahu membalas guna dan bisa menyimpan rahasia. Dia tinggal doi kesatrian Sawojajar, wilayah Negara Amarta.

Nakula memiliki dua orang istri yaitu Dewi Sayati, Puteri Prabu Kridakirata, raja Negara Awuawulangit, dan Dewi Srengganawatiputeri Resi Badawanganala, kura-kura raksasa yang tinggal di sungai Wailu (Badawanangala dikenal sebagai raja Negara Gisiksamodra alias Ekapratala). Dari Dewi Sayati dia memperoleh dua putera yaitu Bambang Pramusinta dan Dewi Pramuwati. Dan dari Dewi Srengganawati, memperoleh seorang puteri bernama Dewi Sritanjung, dan dari perkawinan itu Nakula mendapatkan anugerah cupu pusaka yang berisi air kehidupan yaitu Tirtamanik.

Dalam cerita Mahabharata dikisahkan pada saat Pandawa mengalami pengasingan di hutan, keempat Pandawa yaitu Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa meninggal karena meminum air beracun dari sebuah danau. Kemudian datang sesosok roh gaib yang memberi kesempatan kepada Yudistira untuk memilih salah satu dari keempat saudaranya untuk dihidupkan kembali, Yudistira memilih Nakula untuk dihidupkan kembali. Karena Nakula adalah putera Madri dan Yudistira yang merupakan putera Kunti ingin bersikap adil  terhadap kedua ibunya. Nakula juga turut serta dalam pertempuran hebat di Kurukshetra (Baratayuda), dan pertempuran tersebut dimenangkanoleh pihak Pandawa. Setelah perang Bharatayuddha, Nakula diangkat menjadi raja negara Mandaraka sesuai amanat Prabu Salya kakak ibunya, Dewi Madri.

Dalam Kitab Prasthanikaparwa (kitab ke-17 dari Astadasaparwa Mahabharata), diceritakan bahwa Nakula meninggal dalam perjalanan ke puncak gunung Himalaya bersama para Pandawa yang lainnya dan juga Istri mereka Dropadi. Namun sebelumnya, Dropadi terlebih dulu meninggal dan disusul saudara kembar Nakula yaitu Sadewa. Saat Nakula terjerembab ke dalam tanah, Bima bertanya kepada Yudistira “Kakakku,adik kita ini sangat rajin dan penurut, ia juga tampan dan tidak ada yang menandinginya. Mengapa ia meninggal sampai disini?”. Kemudian Yudistira menjawab “ memang benar bahwa ia sangat rajin dan senang menjalankan perintah kita. Namun ketahuilah, bahwa Nakula sangat membanggakan ketampanan yang dimilikinya. Karena sikapnya tersebut, ia hanya hidup sampai disini”. Setelah mendengar jawaban Yudistira, ketiga Pandawa yaitu, Arjuna, Bima dan Yudistira melanjutkan perjalannya. Arwah Nakula mencapai kedamaian di Surga.

ALL ABOUT JAMBI

Arti Lambang Provinsi Jambi 




Lambang Daerah Tingkat I Provinsi Jambi adalah Berbentuk Bidang Dasar Segi Lima yang menggambarkan lambang Jiwa dan semangat Pancasila.

Pada Lambang tersebut terdapat gambar sebagai berikut :

A. Masjid, melambangkan Ketuhanan dan Keagamaan;

B. Keris, melambangkan kepahlawanan dan Kejuangan;

C. Gong, melambangkan jiwa musyawarah dan Demokrasi, dan

D. Pada bagian bawah logo terdapat Seloka “ Sepucuk Jambi Sembilan Lurah “ yang mengandung arti penggambaran luasnya wilayah Kesultanan Melayu Jambi yang mencakup Sembilan Lurah di kala pemerintahan Orang Kayo Hitam. Adapun ke Sembilan Lurah tersebut adalah :

1. Petaji,

2. Maro Sebo,

3. Jabus,

4. Aer Itam,

5. Awin,

6. Pemayung,

7. Miji,

8. VII - Koto, dan

9. Pinokawan.

Ada juga yang berpendapat bahwa wilayah Kesultanan Melayu Jambi dahulu meliputi Sembilan Lurah yang dialiri oleh anak-anak sungai (batang), masing-masing mempunyai nama :

1. Batang Asai

2. Batang Merangin

3. Batang Masurai

4. Batang Tabir

5. Batang Senamat

6. Batang Jujuhan

7. Batang Bungo

8. Batang Tebo dan

9. Batang Tembesi.

Batang-batang ini merupakan Anak Sungai Batanghari yang keseluruhannya itu merupakan wilayah Kesultanan Melayu Jambi.

Awalnya kalimat ”Pucuk Jambi Sembilan Lurah” terpatri dalam naskah lama ”Undang-undang Piagam Pencacahan dan Kisah Negeri Jambi” yang ditulis Ngebi Sutho Silago Priyayi Rajo Sari Bertarikh 1356 Hijriyah atau 1939 Masehi.

Pada kitab ini dalam pasal 37 Pucuk Undang delapan, lengkapnya berbunyi
”...Yang bernama Pucuk Jambi itu ialah Uluan Jambi, pertama pulau Umak, disanalah Durian ditakuk Rajo sebelah hulu Sialang bertantak besi antara dengan Tanah Minangkabau, maka itulah yang bernama Pucuk Jambi. Adapun yang dinamakan sembilan Lurah itu anak Batanghari Jambi sungainyo yang besar 9 sungai, Pertama Tembesi, kedua Merangin, Ketiga Batang Asai, Keempat Sungai Tabir, Kelima Tebo, Keenam Bungo, Ketujuh Pelepat, Kedelapan Masumai, kesembilan Jujuhan Mako itulah yang dinamokan yang Sembilan Lurah,…”
Batas wilayah Kerajaan dimasa lalu memang belum seperti sekarang dengan koordinat dan ordinat. Patok agrarianya berupa tanda-tanda alam atau simbol-simbol lain. Pada masa kesultanan Jambi luas wilayah kekuasaan kerajaan disebut dari Tanjung Jabung sampai durian ditakuk Rajo, dari sialang belantak besi ke Bukit Tambun Tulang. Tanjung Jabung adalah daerah pantai termasuk perairan dan gugusan Pulau Berhala. Durian ditakuk Rajo berada di Tanjung Simalidu, Sialang belantak besi berdiri tegak di Sitinjau Laut dan Bukit Tambun Tulang berada di Singkut.


Edited from sources :


Pemerintah Provinsi Jambi

Mengenal Lebih Dekat Sosok Sultan Thaha Syaifudin

Sultan Thaha Syaifudin (1816 - 1904)

Sultan Thaha Syaifudin





















Sultan Thaha Syaifudin

Sepertinya Nama Sultan Thaha Syaifudin banyak diabadikan sebagai nama tempat atau jalan di Provinsi jambi ini. Ketika pesawat yang saya naiki mendarat di Bandara Sultah Thaha Jambi, saya terus bertanya-tanya siapakah Beliau hingga namamya diabadikan sebagai nama bandara. Namun Sayangnya tidak banyak referensi  yang cukup menjelaskan siapakah sosok yang cukup fenomenal ini di Jambi. 

Sultan Thaha Syaufudin merupakan Pahlawan nasional asal Jambi yang dilahirkan pada pertengahan tahun 1816 dengan nama asli Sultan Raden Toha Jayadiningrat yang saat kecil sering dipanggil Raden Thaha Ningrat. Saat dinobatkan menjadi sultan pada tahun 1855 usia Sultan Thaha masih tergoleng cukup muda, yakni 22 tahun. Sultan Thaha menggantikan Sultan sebelumnya yaitu Sultan Nazarudin. Berbeda dengan ayahnya, Sultan Fachruddin, Sultan Thaha justru memperlihatkan perlawanan secara frontal kepada Belanda. Pada 1834, ayahnya menandatangani kontrak kerjasama dengan Belanda.

Adapun Sultan Thaha, justru memakai taktik mengelak dan menghindar kontrak.  Sultan Thaha bahkan menolak semua pasal yang membatasi kekuasaan sultan. Junaidi T Noor, sejarawan dari Jambi menyebut Thaha berpantang berhadapan muka dengan Belanda.

Residen Palembang, PF Laging Tobias pada 1881 mendeskripsikan Thaha sebagai orang yang energik lagi bertempramen panas. Ia diluar "kebiasaan" Jambi yang lamban. Karenanyalah Sultan Thaha adalah musuh utama kolonial Belanda ketika itu, walaupun secara formal kekuasaan Thaha berakhir pada 1858. Tapi kurang lebih 40 tahun ia berjuang di belakang layar sebelum akhirnya mangkat pada April 1904.  pada pertempuran di Sungai Aro dan menjadi  sultan terakhir dari kesultanan jambi pada era itu.


(Keterangan asli untuk foto ini berbunyi: "sultan terakhir Jambi dengan rombongannya."Mungkin digambarkan di sini Sultan Thaha Syaifuddin Jambi (1816-1904) . Dia ditangkap dandibunuh pada tahun 1904 oleh tentara Belanda. Saat ini bandara di ibukota Jambi dinamai menurut namanya.)Het originele bijschrift bij deze foto luidt: "De laatste sultan van Jambi met zijn gevolg". Mogelijk is hier Sultan Thaha Syaifuddin van Jambi (1816-1904) geportretteerd. Hij werd in 1904 gevangengenomen en gedood door Nederlandse militairen. Het huidige vliegveld bij de gelijknamige hoofdstad van het district Jambi is naar hem vernoemd.


Sebagai sultan muda, dalam melawan Belanda ternyata Sultan Thaha mencoba membuka jejaring ke sultan Turki. Sebuah terobosan yang boleh jadi belum dicoba oleh para pendahulunya. Ibu Sultan Thaha yang keturunan Arab menurut Scholten memberi andil soal keputusan sultan muda ini untuk meminta dukungan diplomatik dari kesultanan Turki. Langkah ini, pada 1873 diikuti pula oleh kesultanan Aceh. BuktiuUsaha diplomatik itu dapat dilihat dari adanya kalung bintang kejora yang merupkan pemberian dari Khalifah Utsmani di Turki untuk Sultan Thaha melalu utusannya. Saat ini kalung bIntang kejoran tersebut disempan di Museum Siginjei Jambi.

Sultan Thaha Syaifudin dimakamkan di tengah kota Muaro Jambi. Namun ada versi lain yang menyebutkan lokasi yag berbeda mengenai letak lokasi makan Sultah Thaha Syaifudin. Versi lainnya mengatakan makam sang sultan ada di Desa Betung Berdarah, Kecamatan Tebo Ilir. Versi ini mengatakan Sultan Thaha yang sudah uzur tertembak oleh Belanda dalam sebuah pertempuran. Dalam keadaan luka parah, sultan dilarikan oleh pasukannya.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgJSvB-YY-H0mo0o5yGTbYFsvrR4bvQCaYszF01YKgiByvkm46RflavLm_1LYzhrUGVtUpkBi_sXIiiJ_SGjUc34tpGDPQSJcX2go6pBZsT20XR3aWbE5SVXDXN6b6HlNzKIvHFO-2-SeY/s320/2013-02-20+17.53.56.jpg

Sultan kemudian meninggal dalam usia 88 tahun pada 1904 (beliau lahir di Jambi pada pertengahan1816). Oleh pengikutnya, beliau dimakamkan di Desa Betung Berdarah. Hingga sekarang, versi makam Betung Berdarah ini masih terus disebut-sebut dan dipercayai oleh cukup banyak orang.

Versi lainnya adalah adalah Sebuah Makam yang berlokasi di Dusun Tanah Garo, Olak Kemang, Kecamatan Muara Tabir, Tebo. Tak hanya makam sang sultan, di lokasi yang sama juga ada beberapa makam lainnya yang disebut-sebut sebagai hulu balangnya. (Leo)





http://senjadiatasbukit.blogspot.com/2013/04/mengenal-lebih-dekat-sosok-sultan-thaha.html